Anti-Mainstream

22.29

Ketika semua orang berlomba-lomba menjadi anti-mainstream, bukankah itu bermakna sebaliknya?




Dulu, umumnya orang-orang berpose di depan kamera dengan senyum agar terlihat cantik senatural mungkin. Kemudian, muncul orang-orang yang ingin menjadi anti-mainstream, tidak ingin terlihat biasa dari orang-orang lain pada umumnya. Berkreasilah mereka dengan pose foto yang terbilang unik, aneh, nyeleneh, lain dari yang lain, yang kemudian diberi embel-embel "anti-mainstream".
Misalnya saja, foto pernikahan, yang awalnya, kedua mempelai berfoto dengan gaya manis berjejer dengan para tamu, kemudian malah ditampilkan dengan pose-pose nyeleneh, agar anti-mainstream.
Dan, perlahan-lahan, orang mulai melirik anti-mainstream. Orang-orang berlomba untuk menjadi tak biasa, ingin berbeda, tak ingin mengikuti pakem. Berbagai alternatif mereka cari untuk terlihat tak mainstream. Dan, ketika semua orang berubah menjadi sang "anti-mainstream", muncullah pertanyaan, bukankah menjadi "anti-mainstream" juga menjadi hal yang begitu mainstream dalam hal ini.
Ketika para siswa, berlomba-lomba tak mengenakan sepatu berwarna hitam di sekolah karena terlalu biasa dan beralih menjadi sepatu berwarna-warni. Bukankah pada akhirnya, mereka yang bersepatu warna-warna menjadi banyak dan begitu mainstream?
Pada dasarnya, perbedaan dalam mainstream dan anti-mainstream, hanyalah masalah kuantitas. Ketika si anti-mainstream menjadi lebih banyak dari si mainstream, posisi mereka bisa diputarbalikkan dengan mudah.

You Might Also Like

0 komentar

Baca juga :

Subscribe