4th Anniversary (Cerpen)
08.52
image source ; edited by me |
Jihan menatap lembar terakhir kalender duduk yang ada di atas meja kerjanya dengan tatapan bimbang. Ia menghela napas dan tatapannya terpaku pada sebuah tanggal yang diberi tanda hati dengan tinta warna merah.
“Han, kamu nggak
balik?” tanya Tiara yang menghampiri meja kerjanya sambil menyampirkan sebuah
tas di bahu. Jihan mengangkat kepalanya menatap rekan kerjanya tersebut.
“Iya, ini mau balik
kok,” jawab Jihan sambil tersenyum tipis. Tiara mengangguk-angguk mengerti,
“Mau balik sama aku nggak ? Atau kamu dijemput Aditya ?”
Jihan sekilas melirik
ponselnya lalu kembali tersenyum, “Terima kasih, Ra. Aku dijemput Adit.”
“Oh, ok deh. Kalau
begitu, aku balik duluan ya,” ujar Tiara sambil lalu meninggalkan Jihan yang
masih malas bangkit dari kursinya. Ia berbohong. Adit tidak berjanji
menjemputnya. Adit bahkan tidak menghubunginya hari ini. Jihan hanya tidak
ingin merepotkan Tiara.
Aditya adalah kekasih Jihan
selama hampir 4 tahun. Waktu yang cukup bernilai untuk mereka. Jihan masih mengingat
bagaimana Adit mengungkapkan perasaannya tepat di malam tahun baru. Di bawah percikan kembang api yang berwarna-warni, Adit mengungkapkan seluruh rasa yang
tersimpan selama hampir 1 tahun pendekatan. Saat itu mereka sama-sama duduk di
bangku kuliah semester 3 akhir. Yah, waktu memang telah bergulir cukup lama.
Kini mereka telah berada di dunia dimana mereka mencoba meniti karir untuk
mengejar impian mereka. Waktu memang mampu mengubah.
“Kamu dimana ?” tanya
Jihan begitu ia berada di café dimana Adit janji untuk datang menemuinya
sepulang kerja hari ini.
“Aku sedang dalam
perjalanan. Tadi ada liputan mendadak sebentar,” terdengar suara Adit di
ponselnya. Jihan melirik arlojinya. 1 jam telah berlalu melewati waktu
perjanjian mereka.
Sekitar 15 menit
kemudian, Adit datang sambil merapikan rambutnya yang terlihat kacau. Ia
menatap Jihan yang telah memasang wajah masam sambil mengaduk-aduk minumannya
yang hanya menyisakan sisa-sisa batu es.
“Maaf, aku terlambat,”
Adit duduk di hadapan Jihan.
“Lagi,” Jihan
menambahkan dengan ketus.
“Ya, tiba-tiba ada
liputan mendadak tadi. Terjadi tawuran antar golongan masyarakat di jalan…”
“Aku bisa membacanya di
koran terbitan besok,” Jihan masih terdengar ketus membuat Adit kehabisan kata-kata.
Ini bukan yang pertama. Pertengkaran ini adalah yang kesekian kalinya.
“Kenapa kita harus
terus-menerus bertengkar?”
“Aku juga menanyakan
hal yang sama, kenapa kita harus bertengkar lagi ? Kenapa kamu selalu terlambat
lagi ? Kenapa kamu selalu mementingkan pekerjaan daripada aku ? Kenapa kamu
mulai berubah ? Pertanyaan itu terus muncul di pikiranku,” ucap Jihan dengan
kesal. ia menanti jawaban Adit yang sepertinya tidak punya jawaban.
Adit mengalihkan
tatapannya ke arah lain. Seperti sudah jengah dengan tuntutan atas segala
pertanyaan Jihan.
“Kamu ingin bagaimana
?” tanya Adit akhirnya. “Apa kamu ingin kita mengakhiri segalanya ?”
Jihan terdiam dan
menatap Adit tak percaya. Ia tak menyangka Adit akan menawarkan akhir sebagai
sebuah solusi.
“Mengapa kamu begitu
mudah mengatakannya ?” kedua bola mata Jihan mulai berkaca-kaca.
“Aku hanya lelah. Lelah
karena kamu tidak pernah mencoba mengerti sedikit pun. Aku lelah selalu
mengalah dan menjelaskan,” suara Adit terdengar berat.
“Begitu kah ? Hanya
sebatas itu ?” tanya Jihan masih tak percaya dengan penuturan Adit. Mereka
saling berdiam diri bertahan dengan ego masing-masing. Adit menghela napas
berat dan menyerahkan keputusan pada gadis itu.
Jihan membuang wajah ke
arah lain. Tanpa terasa air matanya meluncur begitu saja membasahi pipi.
Beberapa kali Jihan mencoba menyekanya sendiri. Adit tak tahan melihat gadis
itu menangis. Akhirnya, ia harus mengalah lagi.
“Maafkan aku, aku tidak
bermaksud sama sekali. Aku hanya merasa begitu lelah dengan keadaan kita. Aku
hanya ingin mencoba kamu mengerti dengan kehidupan aku.”
Jihan masih tak mau
menatap Adit. Ia meraih tas tangannya dan berjalan meninggalkan pria itu. Ia
berjalan dengan langkah lebar dan bergegas, meninggalkan Adit yang menyusulnya.
Dengan cepat, Jihan menyetop sebuah taksi dan
pergi. Adit hanya menatap sisa bayang-bayang Jihan sambil mengutuk dirinya
sendiri atas kebodohannya.
Sedangkan Jihan masih
menangisi perkataan Adit. Bukan itu solusi yang ingin ia dengar dari pria yang
sudah dipercayainya sebagai jodoh yang dikirim tuhan untuknya. Ia ingin Adit
sedikit lebih memedulikannya.
Jihan sadar,
hubungannya dengan Adit sedang dalam masa kritis. Hanya menanti siapa yang akan
mengakhiri duluan dan siapa yang akhirnya memutuskan.
Seperti biasa, Adit
selalu lupa. Pekerjaannya sebagai jurnalis seakan mampu menyita seluruh
waktunya.
“Dalam satu hari kamu
memiliki 24 jam, 1440 menit, 86400 detik. Tidak bisakah kau luangkan 1 jam
untuk menemuiku ? 1 menit untuk menanyakan keadaanku ? Atau, 1 detik hanya
untuk sekedar mengingatku ?” tanya Jihan di suatu sore.
Adit terdiam. Karena
ada deadline liputan, ia nyaris tidak menghubungi Jihan dalam 2 hari. Kekesalan
Jihan sampai pada puncaknya. Ia mendatangi tempat kerja Adit dan menunggu untuk
bertemu dengannya.
“Aku juga merasa lelah
dengan hubungan kita. Sekarang semua terserah kepadamu. 4 hari lagi adalah
tanggal 31 Desember. Pada malam tahun baru, akan menjadi tahun keempat kita
bersama. Aku tidak tahu, apakah ada 4th
anniversary atau tidak. Sampai tiba pada tanggal itu, mari kita untuk tidak
saling berkomunikasi. Mari kita sama-sama berpikir tentang perasaan kita
masing-masing,” ujar Jihan dengan menahan emosinya.
“Cemara Asri. Tempat itu
akan menentukan arti 4th anniversary itu. Jika harapan itu masih
ada, mungkin kita akan bertemu di sana. Namun, jika tidak. Itu artinya salah
satu ataupun kita berdua telah menyerah pada waktu,” lanjutnya.
Jihan melangkah pergi
meninggalkan adit yang masih tak paham sepenuhnya apa keinginan Jihan. Namun,
tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pada malam tahun baru kali ini ia harus meliput
acara tahun baru yang diselenggarakan walikota di Lapangan Merdeka Medan.
Seketika, ia dihadapkan pada sebuah keputusan berat.
*
“Han, mama kok
akhir-akhir ini jarang sekali lihat Adit datang ke rumah ?” tanya mama Jihan
yang melihat putrinya sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga.
Jihan pun segera
menoleh, menatap mamanya dengan bimbang. “Adit sedang sibuk dengan
pekerjaannya, Ma,”jawab Jihan akhirnya dengan lirih.
“Oh, begitu. Mama kira
kalian sudah tidak berpacaran lagi atau mungking sedang bertengkar.”
Seolah bisa membaca
raut wajah putrinya, mama Jihan segera melanjutkan kata-katanya. “Jika dia
begitu sibuk, maka kamu yang harus lebih memerhatikannya. Seperti papamu, jika
sudah terlalu serius dengan pekerjaannya, jangankan mengingat mama, untuk ingat
makan saja pun ia lupa.”
Jihan terdiam sesaat
karena merasa mamanya mampu mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang. Ia tak
banyak komentar, membiarkan mamanya mengatakan apa yang seharusnya ia lakukan.
“Jika dia lupa untuk
peduli dan kamu juga terlalu gengsi untuk peduli maka yang ada hanyalah
kekosongan. Cinta bukan hanya tentang bagaimana kamu memulai, tapi bagaimana
kamu bertahan dan mempertahankan.”
Dada Jihan terasa
begitu lega mendengar kata-kata mamanya. Ia seakan mendapat sebuah renungan. Sekarang
ia hanya perlu berpikir dengan jernih, apakah ia masih bisa bertahan dan mampu
mempertahankan ?
*
Tepat tanggal 31
Desember, Jihan duduk di sebuah kafe untuk mengisi sore harinya sepulang kerja.
Kafe itu adalah kafe dimana ia biasa menghabiskan waktu bersama Adit berdua. Begitu
banyak cerita yang mengalir di sana.
Jihan memilih meja paling pinggir di dekat
kaca jendela yang berbatas dengan jalanan kaki lima depan kafe. Dengan
secangkir espresso hangat, Rachel menggerakkan jari telunjuknya di layar ponsel
yang kini sedang menampilkan beberapa foto yang merekam jejak kenangan di
antara ia dan Adit. Oh, Jihan benar-benar merindukan masa-masa itu.
Ia masih ingat dengan
jelas, bagaimana pertama kali ia bertemu Adit di sebuah acara kampus. Saat itu
Adit masih bergabung dalam sebuah komunitas jurnalis kampus. Jihan dan Adit
memang satu kampus, namun berbeda jurusan. Adit adalah mahasiswa ilmu
komunikasi, sedangkan Rachel sendiri mahasiswi akutansi.
Adit adalah kekasih
pertama Jihan dan selalu berharap menjadi yang terakhir juga. Begitu banyak
impian yang telah mereka rajut bersama.
Namun, sekarang Jihan
duduk sendiri sambil memikirkan keputusan yang akan diambilnya kelak. Segala
memori tentang kebersamaannya dengan Adit muncul begitu saja bagai potongan
film.
Jihan menyesap
minumannya lalu memandang langit sore itu melalui jendela café. Mendung, seakan
menggambarkan perasaan Jihan saat ini.
“Apakah kita masih bisa
terus bersama ? Langit bahkan tak berpihak pada kita,” ujar Jihan pelan sambil
menyesap kembali cangkir kopinya.
*
“Dit, kamu sudah berada
di Lapangan Merdeka kan?” tanya Jaka, senior Adit di media cetak tempatnya.
“Ya, bang. Bentar lagi
aku sampai di sana,” jawab Adit kemudian mengakhiri pembicaraannya. Ia menatap
ponselnya dengan tampang bimbang. Kurang dari 5 jam lagi, tahun akan berganti. Selama
3 tahun terakhir, ia selalu melewati moment pada tanggal yang sama bersama
Jihan.
Namun, tahun ini ia malah
berdiri di pinggiran ruko jalanan kota Medan untuk berteduh dari guyuran hujan
yang turun dengan derasnya seorang diri. Adit kembali menghela napas.
Ia marah pada Jihan
yang tidak pernah mau mengerti bahwa mereka sekarang sudah memasuki fase
dewasa. Ia harus bekerja untuk memberikan kehidupan yang baik kelak kepada
Jihan, tapi mengapa gadis itu masih tak mau memahaminya.
Adit merapatkan
jaketnya untuk menepis rasa dingin yang menerpa. Pandanganya teralih oleh dua
orang yang juga sedang berteduh di pelataran ruko tersebut. Pria dan wanita itu
terlihat seperti sepasang kekasih. Pria tersebut melepas jaketnya dan
memberikannya pada wanita yang ada di sisinya. Mereka lalu asyik bercerita,
mengabaikan Adit yang mematung di sana.
Adit hanya menelan rasa
pahit di kerongkongannya. Ia tak ingat kapan terakhir kali melakukan hal itu
pada Jihan. Ia tak ingat kapan terakhir kali bercerita panjang lebar dengan
gadis itu.
“Aku harus bagaimana
Jihan? Aku harus bertindak apa ? Apa kita harus mengakhirinya begitu saja ?”
ujarnya dalam hati lalu menunduk. “Tidak, Jihan. Aku tidak mau.”
Adit segera kembali
mengendari sepeda motornya menembus hujan. Ia melaju ke Lapangan Merdeka dimana
ia harus mendapatkan berita malam itu.
Lapangan Merdeka yang
juga dikenal dengan Merdeka Walk merupakan kawasan muda-mudi kota Medan yang
malam itu dipenuhi sesak oleh pengunjung meskipun hujan tengah turun.
Walikota yang
dijadwalkan akan hadir pukul 8 tak kunjung datang meski jam telah menunjukkan
pukul 10 malam. Adit memperhatikan arlojinya dengan kesal.
Tiba-tiba seseorang
menepuk pundak Adit. Seorang wanita berambut pendek tersenyum lebar, “Dit, kamu
ngeliput di sini ?”
“Iya,” jawabnya pada
Dhea yang adalah rekan kerjanya sesama jurnalis.
“Loh, kamu ngeliput di
sini juga?”
“Ah, nggak. Aku udah
selesai ngeliput tadi. Jadi, sekedar main-main aja di sini bareng temen,”
Adit berpikir sejenak
lalu segera menatap Dhea penuh harap. “Dhe, please bantu aku kali ini aja. Bisa
nggak gantiin aku ngeliput acara malam tahun baru bersama Bapak Walikota,”
Dhea memandang Adit
tidak yakin. “Sebenarnya, aku sih mau bantu kamu, Dit. Tapi…” kata-kata Dhea
terpotong.
“Mungkin kamu bakal
bilang aku nggak professional jika aku menjelaskan alasannya, tapi ini
benar-benar penting buat aku, Dhe.”
Dhea menimbang-nimbang
permohonan Adit. “Tapi, bagaimana kalau bang Jaka marah, Dit ?”
“Aku yang akan
menjelaskannya nanti pada dia, Dhe. Kamu mau kan bantu aku?”
Akhirnya Dhea
mengangguk. ”Ok, Dit. No problem.”
“Thank you, Dhe udah
mau bantu aku.”
“That’s friend are for,” ujar Dhea sambil tersenyum. Adit pun segera
bergegas meninggalkan Lapangan Merdeka menuju Komplek Cemara Asri yang memang
selalu ramai saat hari-hari besar terutama perayaan tahun baru.
Hujan yang sempat
mengguyur kota Medan perlahan-lahan mereda. Namun, kemacetan parah tak bisa
terhindari. Sebagian besar orang dengan kendaraannya ingin melewati tahun baru
dengan berjalan-jalan dan menambah kepadatan jalan raya.
Adit melirik arlojinya
lagi dari balik helmnya. Di dalam hati ia merasa was-was. “Akankah Jihan berada
di sana? Masihkan Jihan ingin melewati tahun baru itu dengannya ?”tanyanya
dalam hati.
Adit menyadari hal itu
dalam hati. Ia memang sulit meluangkan waktu untuk Jihan akhir-akhir ini. Ia
mengira hal itu bukan masalah dan berharap Jihan mau memahaminya. Namun, ia
mulai merasa, ada sesuatu yang lebih menakutkan daripada kehilangan sebuah
pekerjaan yaitu kehilangan orang yang dicintainya.
*
Jihan berjalan
menelusuri pelataran ruko yang kebanyakan membuka rumah makan seafood di kanan dan kiri. Hujan perlahan
mulai reda. Para pemilik rumah-rumah makan seafood
itu mulai kembali merapikan susunan meja-meja mereka untuk menyambut para
pengunjung yang tampak memilih-milih tempat makan.
Puluhan orang memilih
berjalan kaki dan memarkirkan mobil-mobil mereka di sepajang jalan boulevard
tersebut. Ya, Komplek Cemara Asri seakan telah menjadi sebuah kota sendiri
dengan berbagai fasilitas yang mereka punya. Pertunjukkan Barongsai yang sudah
menjadi tradisi di setiap perayaan hari-hari besar yang bukan hanya imlek juga
ikut meramaikan suasana.
Tujuan utama para
pengunjung adalah sebuah taman di tengah-tengah komplek yang sangat luas. Dari
sanalah muncul puluhan kembang api yang mulai perlahan-lahan menghiasi langit.
4 tahun lalu, Jihan
mengujungi tempat yang sama bersama Adit yang masih berstatus teman. Dan di
bawah percikan cantik bunga api itu, Adit mengungkapkan perasaannya.
Rasanya baru kemarin
semua itu terjadi. Kebersamaan itu, rasa berdebar-debar itu, rasa malu-malu
itu, semuanya terasa baru saja terjadi kemarin.
Namun, kini Jihan malah
berjalan seorang diri. Menanti dengan cemas, apakah Adit memutuskan hal yang
sama dengannya, memilih untuk bertahan dan mempertahankan ? Ataukah Adit malah
memilih untuk menyerah, melepaskan hati Jihan yang telah ia perjuangkan dulu ?
Jihan mulai takut dengan pemikirannya sendiri.
Ia duduk di sebuah bangku, memperhatikan
orang-orang di sekitarnya. Beberapa pasangan membuat hatinya miris. Beberapa kembang
api yang meluncur ke langit tak mampu mengindahkan malam itu bagi Jihan. Hanya
ada satu orang yang bisa membuat malam itu sempurna, “Adit, I wish you were here.”
*
Adit mengklakson kendaraan
di depannya tak sabar. Begitu banyak kendaraan yang berlomba masuk ke komplek
Cemara Asri membuat jalanan bertambah padat merayap. Untuk kesekian kalinya,
Adit melirik arlojinya. 15 menit lagi menjelang pergantian tahun. Dengan
mencoba sabar, Adit terus mengikuti kepadatan kendaraan tersebut.
Akhirnya, Adit tiba di
parkiran sepeda-sepeda motor. Setelah memarkirkan sepeda motornya, Adit berlari
menuju pusat taman yang masih sekitar 500 meter lagi. Deru-deruan terompet,
letusan kembang api di langit, teriakan riuh orang-orang yang mulai bersiap
menghitung mundur tahun baru, mengiringi
langkah Adit yang tengah berlari mencari kekasih hatinya.
“5 menit,”
“4 menit,”
“3 menit lagi,”
Adit mengedarkan
pandangannya di antara ratusan manusia yang memenuhi taman berdiameter kurang
lebih 300 meter tersebut mencari sesosok gadis.
“10…9…8…” deruan suara
orang-orang yang telah menghitung mundur setiap detik menuju tahun baru.
“7…6…5…4…3...2…1… Selamat
tahun baru…”
Adit menatap langit
dengan dengan pasrah. Langit malam itu sangat indah. Kegelapannya terkalahkan
oleh perpaduan warna percikan kembang api. Andai saja, ia bisa melihatnya
bersama Jihan yang sangat menyukai kembang api.
Adit mengalihkan
pandangannya dan mulai memutar tubuhnya untuk melihat kesekelilingnya. Dan, tak
jauh darinya, di antara orang-orang yang bersorai-sorai meluapkan kegembiraan,
Adit melihat sesosok gadis yang berdiri sambil memejamkan matanya. Tidak bersorai
seperti yang lainnya.
“Jihan,” sebut Adit
dengan perasaan sedikit lega.Ia segera melewati beberapa orang yang menghalangi
jalannya dengan cepat. Gadis itu hanya tinggal beberapa langkah darinya.
“Jihan,” sebutnya lagi
di hadapan gadis yang masih memejamkan matanya.
Tepat di saat hitungan
mundur tahun baru mendekati angkat 1 tadi, Jihan yang tengah pasrah menanti
kedatangan Adit segera memejamkan kedua matanya. Ia melewatkan pesta kembang
api yang yang menari indah di langit. Ia tak mau melihatnya sama sekali.
Kini dalam kegelapan,
Jihan mendengar suara pria itu menyebut namanya. Jihan sempat ragu untuk
membuka matanya. Bagaimana jika saat ia membuka kedua matanya, ia hanya
mendapati Adit tidak ada di hadapannya ? Bagaimana kalau suara itu hanya
khayalan atas kerinduannya saja ?
“Happy 4th
anniversary, Jihan,” bisik Adit dan akhirnya membuat gadis itu membuka matanya.
“Adit,” ujar Jihan
hampir menangis saat melihat pria itu tersenyum di hadapannya. Senyuman yang
begitu ia rindukan.
“Maafkan aku, selama
ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan mengabaikanmu. Aku sadar tindakanku
tidak benar. Aku terlalu egois. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, Jihan.
Perasaanku padamu takkan berubah sedikit pun. Aku masih mencintaimu sama
seperti pertama kali bertemu.”
Bulir-bulir air mata
Jihan meleleh begitu saja. Ia segera memeluk Adit begitu erat. “Adit, I miss you. Aku janji akan menjadi yang
terbaik untukmu.”
Mereka saling merangkul
cukup lama dengan doa dan harapan di dalam hati mereka masing-masing. Namun,
dengna nada doa yang sama, berharap tahun-tahun berikutnya untuk tetap bersama.
“Ini bukan akhir, ini
adalah awal. Awal untuk impian bersama yang lebih besar lagi. bersamamu,” ujar
Adit.
Akhirnya mereka
menikmati sisa-sisa kembang api di langit sambil memandangi danau burung yang
masih berada di tempat yang sama. Ratusan burung bangau berwarna putih yang berkumpul
di daratan-daratan kecil di atas danau terlihat begitu indah seperti kapas.
Adit dan Jihan berbagi
cerita berdua. Tentang impian dan masa depan.
“Oh, ya,” ucap Adit di
sela-sela pembicaraan mereka. Jihan memandang Adit ingin tahu apa yang akan
dikatannya pria itu.
“Kenapa kamu terlihat
memejamkan mata saat pesta kembang api tadi, bukannya kamu sangat menyukai
kembang api ?” tanya Adit.
Jihan tersenyum lembut
membiarkan Adit menanti jawabannya dengan penuh penasaran.
“Karena aku ingin, kamu
menjadi yang pertama aku lihat di tahun baru ini, bukannya kembang api,” ujar
Jihan tersipu.
Adit segera tersenyum
lebar sambil mencubit pipi Jihan, “Bagaimana kalau aku tidak datang tadi, pasti
orang-orang mengira kamu tertidur.”
“Karena aku percaya
kamu pasti datang, walaupun harus terlambat lagi.” Jihan menyandarkan kepalanya
di bahu Adit dengan nyaman.
****
0 komentar