LOVE NOTE
18.02
Siang itu, Bu Helen, koordinator ekskul Jurnalistik
mengumpulkan para siswa-siswi terbaiknya di perpustakaan. “ Lomba Mading SMA
se-Kota Medan ?” Tanya mereka setelah mendengar pengumuman dari Bu Helen.
“ Iya.
Temanya ‘ Be Positive, Be Active ‘. Bagaimana Rere, Ardi, Nia dan Reza ? Kalian
tertarik ?”
“ Tentu sja, bu.” Jawab mereka berbarengan.
Rere kembali membaca brosur itu dengan seksama lalu
mengambil buku catatan yang selalu di simpannya di saku bersama sebuah pulpen
mini. Ia mulai menulis-nulis sesuatu, sebuah skema yang hanya dimengerti
olehnya. Reza, Nia dan Ardi melirik ke arahnya untuk melihat apa yang sedang
ditulisnya. Tapi percuma, hanya Rere yang tahu apa yang sedang ditulisnya.
“ Bu, bagaimana kalau topiknya kita bagi ke dua sub tema ?” ujar
Rere sambil mengulurkan buku catatannya dengan semangat. “ Nah, sub tema
pertama tentang aktivitas di sekolah, misalnya aktif bertanya di kelas, aktif
memberikan pendapat, aktif mengikuti kegiatan tambahan di sekolah, dan yang
lainnya.” Ujarnya sambil menggerak-gerakkan ujung pulpennya di bukunya
tersebut.
“ Lalu sub tema kedua, tentang aktif di luar
lingkungan sekolah, misalnya aktif mengikuti sanggar tertentu, aktif mengikuti
komunitas tertentu, ataupun aktif di kegiatan-kegiatan yang positif. “
Bu Helen memandang Rere sambil tersenyum. “ Ide
bagus. Bagaimana ? kalian setuju ?”
Reza, Nia dan Ardi mengangguk. “ Kalau begitu kita
bagi dua tim saja tugasnya.” ujar Ardi. “ Untuk aktivitas di sekolah, biar saya
dan Nia. Untuk diluar sekolah, Rere dan Reza”
Rere melirik Reza yang tanpa ekspresi. Ia belum
pernah turun ke lapangan bersama Reza sebelumnya. Reza sendiri adalah seorang
fotografer muda yang cukup berbakat.
“ Hmm, baiklah, 3 hari sebelum deadline, semua
artikel sudah selesai.” Perintah Bu Helen. Rere mengangguk dan mencatat
semuanya di buku catatannya.
*
“ Za, tunggu.” Panggil Rere saat mereka baru saja
meninggalkan ruang ekskul. Rere berlari menyusuri koridor berupaya untuk jalan
beriringan dengan Reza. “ Kapan kita mulainya ?”
“ Terserah kamu.” Ucapnya tanpa menatap Rere.
“ Kalau besok bagaimana ?”
“ Terserah.” Tetap tanpa menatap Rere
“ Baiklah, besok saja.” ujar Rere sambil menulis
sesuatu di buku catatannya. “ Kapan kita rapat lagi ? Kita harus membahas
tempat-tempat yang harus kita kunjungi.”
“ Terserah.”
Rere menatap Reza dengan kesal. Ia pun berhenti di
hadapan Reza. “ Kenapa sih semua jawabanmu ‘terserah’ ? Kita kan harus bekerja
sama. Kita akan meliput tentang remaja aktif, tapi kamu sendiri gak aktif.”
Ucap Rere dengan nada tinggi.
Reza tertegun. Namun, Ia cepat-cepat menyembunyikan
ekspresinya. “ Besok pulang sekolah, kita bahas semuanya.” Ucapnya lalu
berjalan menuju kelasnya begitu saja.
Rere menarik napas kesal dan segera menuju kelasnya
sendiri. Ia meletakkan kepalanya di meja sambil menulis sesuatu di buku
catatannya. Deasy, teman sekelasnya,
memandangnya bingung. “ Kamu kenapa, Re ?”
“ Aku harus meliput kegiatan di luar sekolah bersama
Reza.” Ujarnya. “
“ Reza yang anak kelas 2 IPS 1 itu ?”
Rere mengangguk-angguk pelan. “ Bagaimana ini ? Dia
tidak begitu respect denganku. Jangan-jangan dia gak suka satu tim bersamaku.”
Deasy memegang bahu Rere. “ Jangan langsung berpikir begitu. Be positive.
Mungkin dia belum merasa nyaman aja.”
“ Hmm. Iya juga ya.”
*
“ Re, si Reza udah nunggu kamu tuh di depan kelas.”
Ujar Deasy sambil menunjuk cowok yang berdiri di depan kelas memunggungi
mereka. Rere segera mendatangi Reza.“ Maaf ya, Za. Agak lama.”
“ Gak apa-apa. Ayo.” Ajaknya sambil tersenyum. Rere
tertegun sesaat. Ini pertama kalinya Rere melihat Reza tersenyum ke arahnya.
Mereka pun segera berjalan beriringan menuju parkiran untuk mengambil sepeda
motor Reza. Sambil berjalan Rere membaca buku catatannya. “ Hari ini kita ke
lapangan Futsal, lalu ke Studio Musik, aku udah buat janji sama mereka. Gimana
?”
Reza mengangguk dan segera mengambil sepeda
motornya. “ Ayo, naik.” Ajaknya lagi. Rere segera duduk di boncengan Reza
dengan sungkan. Sepeda motor mereka pun segera melaju ke Jalan Jemadi, tepatnya
ke sebuah lapangan Futsal yang cukup besar.
Beberapa remaja yang adalah anak-anak SMA sedang
asyik bermain futsal. Dengan sopan Rere meminta izin untuk mewawancarai
kegiatan mereka, sementara Reza memulai aksinya memotret dengan kamera
DSLR-nya. Setelah berterima kasih dan berpamitan. Sepeda motor mereka melaju
lagi ke daerah Bilal. Mereka berhenti di sebuah Studio Musik.
Rere mengenal salah satu band yang sering latihan di
situ. Mereka adalah band beraliran Jazz yang digawangi oleh personil-personil
yang masih berusia di bawah 18 tahun, bahkan salah satu personilnya masih
berusia 13 tahun. Mereka juga mempersembahkan sebuah lagu untuk Rere dan Reza.
“ Hmm, hari ini selesai.” Rere memandang buku
catatannya puas.
“ Besok kita ke mana, Re ?” Tanya Reza sambil
menyimpan kameranya.
“ Hmm, bentar aku lihat daftar dulu ?”
“ Boleh aku usul ?” Tanya Reza lagi. Rere menatap
Reza lalu mengangguk. “ Tentu aja.”
“ Aku punya usul sebuah kegiatan aktif dan positif.
Bagaimana kalau besok kita ke sana ?”
Rere tersenyum. “Ok.” Ia menutup buku catatannya dan
menyimpannya. “ Memang kita mau kemana ?”
“ Kita lihat saja besok.” Ucapnya sambil tersenyum.
Lagi-lagi Rere tertegun. Ia sadar hari ini Reza berulang kali tersenyum
padanya, sebuah hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Tapi, entah
mengapa Rere merasa sangat senang melihat Reza yang selalu tersenyum.
*
Seperti hari sebelumnya, sepulang sekolah Reza sudah
menunggu Rere di depan kelasnya. Deasy menyikut Rere. “ Cie, makin akrab nih
kayaknya.”
“ Hush, apaan sih ?”
Reza menoleh dan tersenyum saat melihat Rere menghampirinya.
“ Ayo.”
Sepeda motor mereka pun melaju ke daerah perumahan
semi permanen yang cukup jauh dari sekolah mereka. Rere bertanya-tanya dalam
hati. “ kenapa Reza mengajaknya ke tempat itu ?”
“ kenalin Re, ini Anissa.” Reza memperkenalkan Rere
pada seorang gadis manis yang menyambut mereka di sebuah rumah berdinding kayu.
Mereka pun saling berkenalan. Anissa mengajak mereka ke dalam rumah kayu
tersebut, Ternyata di dalamnya terdapat anak-anak kecil berpakaian kumuh. Di
sisi ruangan terdapat papan tulis yang berisi rangkaian kata bahasa inggris
sederhana. CAT, DOG,MONKEY,HEN. Rere tertegun.
“ Re, Annisa
ini menghabiskan waktu luangnya sepulang sekolah untuk mengajar anak-anak
sekitar rumahnya. Ia tidak mengutip bayaran sepeser pun.” Jelas Reza.
“ Sebagian dari mereka tidak bisa melanjutkan
sekolah karena keterbatasan ekonomi. Sedangkan, Pendidikan adalah Hak Asasi
Manusia. Jika aku yang tahu, tapi tidak peduli terhadap mereka, rasanya sama
saja seperti aku yang mengambil hak mereka. Reza juga sering kok bantu-bantu
ngajar di sini.” Ujar Anissa.
Sepanjang perjalanan pulang ia masih terkesima
dengan pemikiran gadis itu. Ia kagum pada Anissa dan Reza. Sesampainya di depan
rumahnya, Rere pun turun lalu menyerahkan helm milik Reza. “ Terima kasih ya,
Za untuk hari ini.”
“ Sama-sama. Aku balik dulu ya.” Balas Reza sambil
tersenyum lalu melajukan sepeda motornya. Rere melambaikan tangan sampai sepeda
motor Reza menghilang di ujung jalan rumahnya. Reza benar-benar berbeda dari
bayangannya selama ini.
*
Hari Sabtu tiba. Rere dan Reza akan menghadari Cosplay
atau Costum Play di Pendopo Usu. Banyak remaja berkostum anime Jepang di sana.
Ada yang berpakaian Anime Naruto, Death Note, Cardcaptor Sakura, Vocaloid
Hatsune Miku, dan tokoh anime lainnya. Ada juga yang memakai kostum Gothic
Lolita dan Harajuku.
Para cosplayer atau Costum Player mengatakan bahwa
cosplay bukan hanya sekedar Hobby bagi mereka. Rere pun tak melewatkan untuk
berfoto bersama mereka.
“ Wah, mereka
keren-keren banget, serasa ada di dunia animasi.” Ucap Rere begitu mereka di
taman Cemara Asri. Reza setuju dengan Rere, pasalnya Reza juga sangat menyukai
anime.
“ Za, aku beli minum dulu ya. Kamu mau ?”
“ Boleh.”jawabnya sambil mengeluarkan kameranya
kembali. Rere pun segera menuju penjual minuman di dekat taman.
Saat Rere kembali ke bangku tempat mereka duduk tadi,
Reza tidak ada di sana, Ia pun segera mencarinya ke sekitar taman. Ternyata
Reza sedang memotret, mulai dari pemandangan hingga aktivitas orang-orang. Rere
hanya tersenyum. Entah mengapa ia begitu suka melihat Reza saat sedang memotret.
Ia terlihat begitu relaks dan menikmati apa yang dilakukannya.
Tiba-tiba Reza memalingkan wajahnya dari kamera dan
memandang ke arahnya sambil tersenyum. Reza benar-benar tersenyum manis. Ia berjalan
ke arah Rere, “ Mau dipotret ? Warna langitnya lagi bagus.” Ucapnya dengan
tersenyum. Rere tertegun, tapi ia langsung mengangguk dan ikut tersenyum.
Alhasil, Rere menjadi model Reza di sore itu.
“ Wah, fotonya bagus-bagus ya. Kamu memang sangat
berbakat.” Puji Rere saat mereka sedang melihat ulang hasil-hasil foto mereka
tadi. “ Yang ini paling bagus.” Lanjutnya.
“ Hmm, iya.”
“ Za, aku mau dong belajar motret.”
“ Ntar kalau tugas kita selesai pasti aku ajarin.”
Janji Reza. “ Udah hampir gelap, pulang yuk. Oh ya, besok mau dijemput jam
berapa ?”
“ Katanya besok pagi ada parade bersepeda di
Lapangan Merdeka. Tertarik gak ?”
Reza berpikir sejenak. “ Boleh juga.”
Rere tersenyum senang. “ Kalau gitu besok kita naik
sepeda aja ya.”. Reza mengangguk.
*
Ratusan sepeda dari berbagai macam jenis dan merk
bertebaran di sekitar Lapangan Merdeka. Rere dan Reza memandang suasana di sana
dengan penuh semangat. “ Wah, ini pertama kalinya lihat sepeda sebanyak ini.”
ujar Rere senang. Reza juga tampak senang. Ia membidikkan kameranya ke berbagai
arah. Ada barisan sepeda Onthel, sepeda Sport, sepeda Fixie, dan jenis lainnya.
Rere mendatangi kumpulan remaja. Ternyata mereka
punya komunitas-komunitas sendiri. Salah satunya Dicky, sepeda dari
komunitasnya sangat unik. Ada yang bannya sangat kecil namun stangnya sangat
panjang. Ada yang memiliki 2 sadel, ada yang punya banyak bel dan lampu., dan
sebagainya.
Tepak pukul 2 siang, Rere dan Reza mengayuh
sepedanya ke arah taman budaya. Untung matahari tidak terlalu terik, sehingga
tidak terlalu melelahkan. Jalan raya agak longgar di hari minggu. Sehingga
lebih aman untuk bersepeda.
Reza dan Rere segera memarkirkan sepeda mereka
sesampainya di Taman Budaya. Rere
meneguk minumannya dengan sedikit ngos-ngosan. Ia menyeka keringat dengan
handuk yang dibawanya.
“ Sebentar lagi teaternya mulai.” Reza memperhatikan
banner yang di pasang di sana.
“ Wah, ayo kita duduk di sana.” Rere menarik tangan
Reza ke arah batu yang yang bertingkat-tingkat. Panggung sedang disiapkan.
Beberapa pemain tampak mondar-mandir. Akhirnya tak sampai 10 menit, pertunjukan
dimulai.
Rere memperhatikan sekitarnya. “ Penontonnya sedikit
sekali. Bisa dihitung dengan jari.”
“ Seni teater memang tidak sepopuler pertunjukkan
band ataupun modern dance.”
“Padahal kan pertunjukkannya bagus. Lihat, aktingnya
sangat keren.” Rere menunjuk seorang cowok yang kini sedang meratap di
panggung. Pertunjukkan pun usai. Rere segera mencari kesempatan untuk bertemu
langsung dengan cowok yang menjadi lakon utama tadi. Ternyata cowok bernama
Dimas itu adalah siswa SMA kelas 1.
“ Begitulah, kak. Kalau bukan kita sebagai remaja
yang melestarikan seni ini, lalu siapa lagi ?” begitu ujarnya.
“ Hmm, akhirnya selesai. Ayo pulang.” Rere
memasukkan buku catatannya ke saku celana lalu melajukan sepedanya bersama
Reza.
*
“ Za, kamu udah tidur ?” suara Rere terdengar panik.
“ Belum, ada apa Re ?” Reza bingung karena tiba-tiba
Rere meneleponnya.
“ Buku catatan aku ada sama kamu gak ?”
“ Gak, kenapa ?” Tanya Reza bingung.
Terdengar tarikan napas Rere berat. “ Bukunya
hilang.” Jawab Rere nyaris menangis.
Setelah
menerima telepon Rere, Reza langsung bergegas dengan sepeda motornya. Ia akan
mencari buku Rere yang mungkin terjatuh dari sakunya saat perjalanan pulang
tadi. Padahal Rere sudah melarang Reza untuk mencari buku itu karena besok ia
sendiri yang akan mencarinya. Tapi, Reza tidak peduli.
Reza menyusuri sepanjang jalan yang mereka lewati
saat pulang tadi. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah buku kecil di sisi
jalan raya. Reza menghampiri buku itu dan mengambilnya. Ternyata benar itu buku
milik Rere. Reza membuka-buka halaman buku untuk melihat keadaan buku itu,
namun tiba-tiba tertegu. Bukan skema yang berantakkan, bukan juga catatan hasil
wawancara. Tapi, ia tersenyum memandang
tulisan itu lalu menutupnya dan memasukkannya ke sakunya.
Saat hendak memutar sepeda motornya, tiba-tiba
sebuah cahaya kendaraan dari hadapannya begitu menyilaukan dan hentakan keras
menghantamnya begitu saja. Pandangannya gelap seketika.
*
Reza tersenyum sambil menatap buku catatan Rere. Ia
sebenarnya merasa tidak enak membaca buku catatan orang lain. Tapi, entah
mengapa ia sangat senang dan membaca halaman buku itu berkali-kali.
“ Za, teman-temanmu datang berkunjung.” Ucap Mamanya
sambil mempersilahkan Rere, Nia, dan Ardi masuk. Reza tersenyum melihat mereka
datang, terutama Rere. Gadis itu terlihat pucat dan lusuh, matanya berkaca-kaca
karena menahan tangis.
“ Bagaimana keadaanmu, Za ?” Tanya Nia.
“ Cuma cedera tangan aja.”
“ Itu deh malam-malam keluyuran.” Ejek Ardi. Reza
menatap Ardi sebal karena ejekannya. Setelah berbincang-bincang sejenak, Nia
dan Ardi berpamitan pulang karena mereka masih harus mengejar deadline. Reza
pun menatap Rere yang dari tadi berdiri mematung tanpa berkata apapun.
“ Kok diam aja, Re ?” Tanya Reza bingung.
“ Maaf, Za.” Ucapnya pelan.
“ Kenapa ?”
“ kamu begini karena buku catatanku ?”
Reza menyodorkan buku milik Rere, Rere menatapnya
panik. “ Kamu gak baca bukuku kan ?”
“ Memang kalau baca kenapa ? Apa ada rahasianya ?
Kalau gitu aku baca dulu deh.” Ucap Reza sambil mengambil buku itu. Namun, Rere
cepat-cepat mengambilnya. “ Balikin.”
Reza cemberut dan membiarkan Rere menyimpan bukuku.
“ Harusnya bilang terima kasih.”
“Terima kasih.” Ucap Rere pelan.
“ Karena beberapa hari ini aku harus di rawat, aku
nggak bisa masuk sekolah.”
“ Kalau gitu, pulang sekolah aku langsung ke sini.
Kita kerjakan artikelnya bersama.” Reza tersenyum.
Selama seminggu, Rere datang ke rumah sakit untuk
membahas dan mengerjakan artikel serta memilih foto-foto terbaik bersama Reza.
“ Semuanya telah selesai. Tadi kami sudah mengantar
mading kita. Pengumumannya minggu depan.” Ucap Rere bersemangat.
Namun, Reza menunduk. Berakhirnya proyek lomba itu,
berarti berakhir juga kesempatannya berada di dekat Rere.” Nggak terasa ya, 2
minggu udah berlalu. Waktu terasa cepat benget.” Ucap Reza murung.
“ Iya, benar-benar gak terasa.”
“ Oh ya,
boleh aku menanyakan sesuatu ?” Tanya Reza. Rere mengangguk.
“ Apa tulisan di buku itu benar-benar berasal dari
hatimu ?”
Rere memandang bingung. “ Tulisan apa ?” Tanyanya
polos. Tapi, seketika itu juga ia teringat akan buku catatannya. Ia langsung
memandang Reza panik. “ Jangan-jangan kau sudah…” Terkanya.
Reza tersenyum usil dan mengangguk. Pipi Rere
langsung merah menyadari hal itu. Berarti Reza sudah membaca tentang love notes-nya.
Padahal, di sana ia menulis catatan-catatan singkat tentang Reza selama
mengerjakan proyek bersamanya.
“ itu…tulisan itu..” ucap Rere gugup. Reza mengerti
kalau Rere merasa malu sekarang. Reza segera mengambil sebuah amplop dan
menyerahkannya pada Rere. “ Apa ini ?”
“ Maaf karena aku telah membaca buku catatanmu.
Sebagai gantinya kau boleh melihat love notes-ku.” Ucap Reza sambil tersenyum.
Rere segera membuka amplop itu dan ternyata isinya adalah beberapa lembar foto
dirinya. Setiap foto di tempel stiker note. Rere hampir menangis karena terharu
saat membaca setiap note singkat di foto itu.
“Her smile” pada
foto-fotonya yang sedang tersenyum.
“Day dreaming, huh ?” pada
fotonya yang sedang melamun.
“ Really smart.” Pada
fotonya saat sedang mewawancarai.
“She looks beautiful” pada
fotonya saat sedang berpose di taman.
“ U smile, I smile ” pada
foto mereka berdua yang sedang tersenyum saat di taman.
“ Aku speechless.” Komentar Rere. Ia tidak percaya
Reza bisa menjadi sosok seromantis itu. Reza tersenyum kepadanya. “ When a man
fall in love, he can be extraordinary man.” Ucapnya lembut sambil tersenyum.
*
My Love Notes
Satu tim
dengan REZA,
Dia sangat
dingin padaku, apa dia membenciku ?
Sepertinya
tidak, hari ini ia tersenyum padaku
Hari ini dia
tersenyum lagi. Akhir-akhir ini dia lebih sering tersenyum.
Hmm, ternyata
dia berhati mulia.
Kenapa
jantungku berdebar-debar jika melihat senyumannya.
Apa ini ?
Perasaan apa yang aku rasakan ?
Ya Tuhan, ini
kah cinta ?
0 komentar