Capcay Istimewah
09.36“Silahkan duduk, nona manis.” Pria dihadapanku tersenyum lembut sambil mempersilahkanku untuk duduk di salah satu kursi bar yang berjejer di sisi meja pantry. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, ia kembali berkutat di pantry mungilnya. Ia terlihat begitu cekatan mengeluarkan cangkir kopi dari dalam lemari gantung.
Beberapa detik kemudian, ia menjelma bak seorang barista. Aroma kopi seakan membelai lembut indra penciumanku. Ia tahu aku sangat menyukai kopi, terlebih kopi buatannya yang menurutku memiliki zat adiktif tersendiri.
Pandanganku
beralih dari sang barista menuju sebuah vas bunga yang terletak manis di atas
meja pantry. Setangkai mawar putih. Ya, ia memang sangat menyukai warna putih. Lihat
saja, apartemen yang dibelinya sekitar 4 tahun lalu bahkan didominasi oleh
warna kesukaannya tersebut. Entah itu Sofa, bopet, lemari gantung, atau rak
buku. Mereka terlihat selaras dalam kemurnian warna susu tersebut.
Sambil
menanti cangkir kopiku, aku menikmati Bubbly milik Colbie Calliat yang
mengalun merdu melalui home teater yang
menyala, mengisi ruang-ruang kosong
antara kami.
“Black
Coffee spesial.” Ia menyodorkan cangkir kopi ke hadapanku. Aku meraih cangkir
kopi tersebut, menghirupnya sejenak lalu menyesapnya. Aku selalu memejamkan
mata saat menyesap kopi pertama. Kopi ini tidak terasa spesial sampai aku
membuka mata dan sesuatu yang disebut spesial ada di sana. Pria berumur awal
30an itu selalu tersenyum sumringah sambil menantiku memberikan pendapat
tentang kopi buatannya.
“Seperti
biasa, begitu nikmat,” ujarku sambil menyunggingkan senyum. Ia turut tersenyum
semakin lebar.
“Sepertinya
Colbie Calliat tidak bosan menyanyikan lagu itu untuk kita.” Aku setengah
protes.
Ia malah
tertawa lalu mengambil remote di sisi meja. “Aku pasti menyetel repeat mode on.”
“Aku sangka
kau telah berpindah hati padanya.” Aku mencoba menggodanya. Namun, ia kembali
tertawa begitu renyah sambil kembali ke pantry. “Aku takkan bisa berpindah
hati, sampai kapan pun. Kenapa kau masih meragukan isi hatiku?”
Aku ikut
tertawa. Aku sangat mengetahui isi hatinya. Mana mungkin aku meragukannya. Ia pria
yang mungkin takkan pernah dilepaskan oleh wanita mana pun. Pria dengan sejuta
pesona yang semua wanita ingin miliki sebagai pendamping hidup. Ia pria terbaik
dari semua pria yang pernah aku kenal di dalam hidupku.
“Mau masak
apa kali ini?” tanyaku begitu melihatnya mulai mengeluarkan pelbagai bahan
makanan dari dalam lemari pendingin.
“Sesuatu
yang spesial.” Ia berujar pendek. Lihat, wanita bodoh mana yang akan
mengabaikannya, pria yang selalu ingin memberikan sesuatu yang spesial untuk
orang yang disayanginya.
“Baiklah,
aku akan menanti menu spesial itu dengan sabar.”
Ia kembali
menyunggingkan senyum, menggulung lengan kaosnya hingga ke siku lalu memasang
apron ke tubuhnya. Aku menyesap kopiku sekali lagi, kali ini kopi itu terasa
lebih spesial dua kali lipat karena aku menikmatinya sambil menyaksikan sang
barista yang kini menjelma menjadi seorang chef handal.
Ia mulai
memainkan pisaunya dengan lihai. Wajahnya tampak serius dengan rahang tegas.
Aku terus
mengamati setiap senti wajahnya. Setiap senti yang menyimpan sejuta kenangan
selama 7 tahun aku mengenalnya. Wajah yang sama dengan cinta pertamaku di tahun
terakhir aku mengenakan rok berwarna biru. Wajah yang sama yang mampu membuat
darahku berdesir lebih cepat saat itu. Tak mampu memejamkan mata di malam hari
dan selalu marah saat siang datang. Usiaku begitu labil untuk cinta pertama
saat itu.
Kali ini,
ia mulai menghangatkan frying pan dengan sedikit minyak di atas kompor kemudian
menuang bawang bombay ke dalamnya. Seketika aroma tumisan itu langsung
menyerbak ke seluruh ruangan. Aku mengenali aroma yang seakan bergumul dengan
masa laluku. Waktu itu, cinta pertamaku datang bersama aroma tersebut. Aroma
capcay.
Pria yang
wajahnya masih sama dengan cinta pertamaku dulu itu kini sedang memasukkan
seluruh sayuran ke dalam frying pan, bercampur menjadi satu bersama potongan
ayam dan bakso. Ia mengangkat dan mengoyang-goyangkan frying pan tersebut agar
seluruh bumbu menyatuh dan meresap dengan baik. Ia meneteskas kuah capcay
tersebut ditelapak tangannya dan menyicipinya.
Aku mengamati
wajahnya, menanti dengan sabar sampai ia menoleh menatapku lalu tersenyum. Senyum
yang membuatku jatuh hati padanya sejak pertama kali.
Ia mengulurkan
sendok berisi potongan wortel dan daging ayam ke depan bibirku. Aku menatap
kedua matanya sejenak sebelum akhirnya membuka mulut dan membiarkannya masuk ke
dalam mulutku.
Seketika
mulutku terasa kaku mengunyahnya. Aku menatapnya yang sekali lagi menunggu pendapatku
tentang masakannya.
“Rasanya
enak, sangat enak,” ucapku jujur sambil menghindari tatapannya, mencoba
menyembunyikan mataku yang mulai kabur tertutup oleh air yang tiba-tiba saja
mendesak untuk keluar. Tepat di saat ia kembali berkutat dengan capcaynya,
sebulir air mataku jatuh dengan sendirinya.
Rasa capcay
buatannya masih sama seperti 7 tahun lalu. Ia datang dengan sekotak capcay yang
saat itu kuanggap satu-satunya masakan terenak pengganti masakan ibu yang
begitu aku rindukan selama bertahun-tahun.
“Rasanya sudah pas? Tidak kurang apapun kan?” tanyanya sekali lagi memastikan.
Dengan
masih menghindari tatapannya, aku mengangguk. Akhirnya ia menuang capcay
tersebut ke atas piring datar berwarna putih. Potongan bunga kol, buncis,
wortel, arcis, dan sayuran lainnya berbaur dengan potongan daging ayam dan
bakso, tanpa udang. Ia tahu aku alergi udang.
Ia melepas
apronnya dan tersenyum puas lalu mengangkat masakannya tersebut ke meja makan. Meletakkannya
tepat di tengah. Aku hanya mengikutinya sambil memandangi siluet tubuhnya. Ia berjalan
bolak-balik untuk mengangkat piring, gelas, dan sendok untuk ikut disusun di
meja makan.
Ia menyusun
3 piring putih dengan masing-masing sepasang sendok garpu dan gelas di sana. Ia
melirik jam dinding lalu menatapku cemas. “Kenapa kakakmu belum pulang? Apa ia
lupa bahwa hari ini ulang tahun pernikahannya?” ujarnya dengan nada kesal.
* tulisan ini terdiri dari 900 kata, 7 kata lalu, 1 kata kemudian, diikutsertakan dalan Tantangan Menulis #DeskripsiBakso @KampusFiksi
“Padahal, aku sudah memasak makanan favorit
kakakmu. Ia bilang ia jatuh cinta padaku karena capcay ini. Benar-benar tak terbayangkan.” Ia tersenyum simpul. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman getir. Seandainya, aku tak terlambat dewasa.
* tulisan ini terdiri dari 900 kata, 7 kata lalu, 1 kata kemudian, diikutsertakan dalan Tantangan Menulis #DeskripsiBakso @KampusFiksi
1 komentar
Alhamdulillah, tulisan ini menang dalam tantangan menulis #kampusfiksi :)
BalasHapus